Menjadi Tua

8:53 PM

Saya yakin bahwa Anda dan saya, ketika masih berusia praremaja, pasti pernah terobsesi untuk menjadi dewasa, menjadi tua.

"Menjadi orang tua itu sepertinya enak ya, Bu," kata anak saya suatu kali. "Orang tua itu bebas melakukan apa pun. Semua orang sudah percaya. Nggak ada yang melarang apalagi mengekang."

Ketika itu dengan agak geli saya menjawab, "Menjadi orang tua itu enak karena bebasnya, tetapi nggak selalu enak karena tanggung jawabnya."

Ketika kecil, saya juga pernah mengira bahwa bertanggung jawab itu mudah saja. Tetapkan target, buat keputusan, dan jalan lurus menuju target itu apa pun yang terjadi. Jika hasilnya positif, itu adalah kemenangan. Jika hasilnya negatif, sakitnya ya ditanggung sendiri. Tetapi ternyata, bertanggung jawab menjadi rumit ketika risikonya sering kali tidak hanya mengancam diri sendiri, tetapi juga orang lain, termasuk, orang-orang yang paling dicintai.
Setelah hampir satu tahun saya meninggalkan tanah air untuk tugas belajar, saya bertemu kembali dengan kedua orang tua saya. Ketika itu, saya sempat tercenung melihat keriput yang bertambah banyak di wajah ayah saya. Usianya sudah di atas 65 tahun. Tidur siangnya kini tidak cukup hanya satu kali. Beberapa butir vitamin harus selalu terhidang bersama makanan. Dan, jika saya hendak menghidangkan makanan lezat yang dipenuhi garam, gula, atau lemak, itu hanya akan menyiksanya saja. Padahal, kekhawatirannya terhadap anak-cucunya tidak juga berkurang. Demikian tragiskah menjadi tua itu; digerus oleh rasa tanggung jawab yang terus membesar dan bahkan lebih besar daripada kapasitasnya sendiri? Menjadi tua, ternyata memang tidak hanya bermakna menjadi jaya.

Menjadi tua adalah alamiah dan kepastian bagi setiap orang. Jadi, itu adalah ide-Nya. Menariknya adalah ide-Nya juga untuk menyempurnakan ciptaan-Nya. Jadi, proses menjadi tua sesungguhnya adalah sebuah proses penyempurnaan Ilahi.

Sayangnya, ide penyempurnaan ini sering kali tidak populer. Begitu banyak orang takut menjadi tua, karena itu seperti sama artinya dengan menjadi keriput, lemah, sakit-sakitan, dan terbungkuk letih oleh beban hidup. Begitu banyak juga orang muda yang kasihan kepada orang yang telah beranjak tua, karena orang-orang tua seakan adalah orang-orang yang telah kehilangan kembali semua kekuatan dan kecemerlangan yang pernah diraihnya.

Padahal, jika semua itu adalah bagian dari penyempurnaan, ketuaan sesungguhnya indah. Muhammad Zuhri pernah membagi kearifan sufistiknya dengan berkata, bahwa menjadi tua itu sesungguhnya menjadi jiwa yang tidak lagi bisa dikagetkan oleh apa pun kenyataan yang dihadirkan oleh Tuhan. Mau kaget dengan apa, sedangkan semua telah pernah dialami. Mau kaget dengan apa, sedangkan tenaga untuk terkesiap juga sudah tidak ada lagi. Semua kelemahan hanya memudahkan seorang tua untuk bersandar hanya kepada-Nya.

Menjadi tua adalah menjadi sederhana dari semua rasa memiliki semua, menuju kepada rasa dimiliki oleh-Nya. Menjadi tua juga tentu, menjadi ahli istirahat. Dan dengan menjadi ahli istirahat, ia pun bisa menjadi tempat semua orang yang masih muda, yang bisanya baru berobsesi tinggi, untuk belajar mengistirahatkan, tidak saja fisiknya, tetapi juga pikiran dan jiwa dari kecemasan dan ketakutan yang tidak perlu. Menjadi tua adalah menjadi mulia, dengan menyederhanakan komplikasi dunia dalam benak dan kesadaran. Menjadi tua adalah mengenal diri di dalam-Nya; seperti di Padang Arafah, ketika seorang haji menemukan gumaman tertinggi: "Ya Allah, kini aku mengenal-Mu ...."

Indah bukan?

0 comments