Menggapai Asa dalam Gulita
2:04 PM
Mata dan penglihatan adalah indra penting bagi kehidupan. Lalu bagaimana jika sumber penglihatan itu tidak dimiliki seseorang? Mungkin sebagian besar akan berpikir bahwa kegelapan tak bisa memberikan apa – apa, tapi bagi para nara sumber Kick Andy kali ini sangat berbeda. Mereka mampu mencapai asa dalam gulita!
Adalah Mimi Mariani Lusli, perempuan penyandang tuna netra yang selalu bersikap riang dan penuh semangat. Mata Mimi mulai meredup saat ia duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar. Dalam usia 17 tahun sinar itu benar-benar padam di matanya dan ia mengalami kebutaan total.
Namun toh ini tak menghentikan Mimi untuk meneruskan sekolah dan mencapai cita-citanya, menjadi seorang guru. Ia berhasil menyelesaikan kuliahnya di IKIP tahun 1989.Tak puas hanya lulus sarjana, Mimi juga berhasil meneruskan dan menyelesaikan kuliah di pasca sarjana-nya Universitas Indonesia. Selain itu di tahun 2003, Mimi juga berhasil saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan S2-nya di University of Leads di Inggris. Tak cukup sampai disitu, perempuan pejuang ini sekarang sedang melanjutkan kuliah kedoktorannya di Faculty of Earth and Life Sciences Universitas of Amsterdam di Belanda. “ Bagi belajar itu mengasyikan,” kata salah satu pendiri yayasan Mitra Netra ini.
Mimi punya cara tersendiri untuk bisa sekolah dan kuliah bersama orang-orang awas. “Kami orang tuna netra harus punya konsentrasi penuh untuk bias menyimak dengan baik,” kata Mimi tentang salah satu trik belajarnya.
Seakan ingin terus menularkan semangatnya pada orang lain, Mimi banyak sekali berkecimpung dengan lembaga-lembaga social yang membantu pendidikan para penyandang cacat, terutama tuna netra. Bahkan baru-baru ini, Mimi juga telah membangun Mimi Institute, sebuah lembaga yang memiliki visi agar para penyandang cacat memiliki hidup yang lebih baik.
Kisah sukses juga dimiliki Tolhas Damanik.
Tolhas juga seorang penyandang tuna netra sejak lahir. Penyakit glaukoma sejak lahir telah membuat Tolhas tak bisa melihat dunia ini dengan kedua bola matanya.
Meski demikian, sejak kecil Tolhas belajar di sekolah umum. Jadi ia harus beradaptasi dengan sistem pendidikan yang memang diperuntukan bagi siswa-siswa yang tidak buta, tapi toh ini tidak memupus semangatnya untuk terus maju.
Tolhas mampu melewati banyak hal sulit untuk bias bersekolah setinggi mungkin. Dan beberapa waktu lalu , Tolhas berhasil mendapatkan beasiswa dan menyelesaikan gelar masternya di Universitas Ohio, Amerika Serikat. “Semakin sadar saya punya hambatan, semakin besar keinginan saya untuk sekolah,”.
Kini Tolhas sudah kembali ke tanah air dan bekerja di lembaga non profit sebagai konsultan pendidikan. Ia juga sering diundang sebagai pembicara dalam seminar pendidikan inklusif dan konseling, di dalam maupun luar negeri.
Prestasi yang sangat hebat sudah dicapai oleh Saharudin Daming. Kebutaannya sejak usia 10 tahun tak menghalangi Saharudin untuk meraih cita-cita. Pria penyandang tuna netra ini mampu bangkit dari keterpurukannya dan berhasil meraih gelag Doktor di bidang Hukum. Dan perlu dicatat! dia adalah tuna netra pertama di Indonesia yang menyandang gelar ini.
Sejak kecil Saharudin bersekolah di sekolah umum. Saat suatu hari kepala sekolahnya di SMA menyatakan ia harusnya ke sekolah luar biasa, Saharudin pun memberikan argumennya. “Pak kalau sekolah saya luar biasa, nanti kuliah harus di universitas luar biasa juga, kerjanya di tempat luar biasa, dan gajinya luar biasa. Saya bilang begitu ,” tutur Saharudin diakhiri tawa.
Selain itu Ayah dua anak ini juga menceritakan proses pencapaian diri yang ia lalui dengan gembira. Dengan kecerdasannya, ia bias menembus rintangan jadi tantangan yang bias ditaklukan. Misalnya bagaimana ketika ia memprotes ketidaklulusannya sebagai advokat, hingga akhirnya bias lulus.
Semangat, ketekunan, dan kecerdasan telah mengantar Saharuddin, sebagai orang yang layak menduduki jabatan penting. Ia kini menjadi Komisioner Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, atau Komnasham, periode 2007 hingga 2012.
0 comments